Friday, January 10, 2003

Dua Mata Angin Melawan (DOP)


Barat.
Ketika sebatang bambu memukul langit.
Ketika pasir-pasir mengotori koridor cahaya Illahi.
Ketika setiap kata yang terucap adalah mata pisau yang menyayat. Perih.

Timur.
Ketika sang kodok bersimpuh di sebelah awan.
Ketika air mata menelaga di tepi cakrawala.
Ketika setiap langkah yang berlalu adalah sepotong nyawa tersisa. Sesal.

Bahwa Tuhan tak pernah mau berbicara padaku.
Bahwa Malaikat tak lagi mencatat pahalaku.
Bahwa Setan tak lagi menjauh dariku.
Bahwa Nabi tak lagi menjadi panutanku.

Tertunduk menahan luka demi sebuah harga diri yang sangat murah.
Tergugu. Terpaku. Terhempas.
Tergolek lemah dengan bilur-bilur penyesalan.
Tersenyum kecut. Pahit. Asam.

Rabb...
Tak ada lagi angin barat di hatiku.
Tak ada lagi angin timur di jiwaku.
Tak ada lagi buaian lembut penyejuk kalbu.
Tak ada lagi kecupan mesra pendingin sukma.

Allah...
Masih pantaskah wangi surga untukku?

Jan 03
(Sebuah elegi yang tak pantas disebut elegi)

0 komentar: